Cathay Pasific "Burung Raksasa"
Oleh : Pratiwi WS
"Burung Raksasa itu Bernama Cathay Pasific"
Suaranya berdengung keras sekali. Aku duduk di ekornya, paling ujung dengan urutan nomor kursi buntut sendiri. Ya, terakhir.
"Mimpiku datang juga" bisik saya waktu itu, lebih dari setahun yang lalu. Dengan degup mengencang dan urat menegang. Seluruh nama keluarga tersebut; ibu, bapak, saudara kandung lelaki dan perempuan saya.
"aku terbang!" pekik saya dalam hati.
Jika teringat saat itu, rasanya sungguh luar biasa. Itu untuk pertama kalinya saya menaiki pesawat terbang, dengan rute tidak tanggungtanggung jauhnya, Hongkong!
Pramugari yang hampir seluuhnya bermata sipit namun masih saya dapati segelintir bermata hitam bundar khas indonesia melayani kami semua dengan ramah tamah.
Di kursi yang saya duduki ada sabuk pengaman seperti di taksi atau seltbet milik para supir mobil2 pribadi. Ada monitor untuk menonton televisi ada handsfree dan ada majalah lengkap berbahasa inggris. Sayatertawa dalam hati. Mengingat ilmu saya yang nol besar untuk bahasa yg satu ini.
Ketika pesawat perlahan mengangkat naik saya perbanyak do'a. Supaya tidak ada halangan apa-apa. Lantas ketika jalan kiri kanan mulai menjalur awan. Entah cumulus atau cumulonimbus. Saya ternganga lagi. Duhai. Benar. Indah sekali awan dipandang dari dekat sini.
Empat jam mata saya tak bisa diam. Bergerak riang ke segala penjuru ruangan.
Tahulah saya sekarang kenapa orang yang punya uang senang sekali bepergian naik pesawat terbang. Bukan karena apa. Pasti karna ketagihan! Ketagihan melihat awan dan bentang lautan.
Ah. Daya pikir yang datar saja serta mimpi yang sederhana juga. Saya berpikir lagi, tidak untuk memikirkan yang lainlainnya itu. Tapi nasib saya nanti yang belum pasti. Status saya yang tinggal hitungan jam sudah resmi berpangkat 'Babu'
Ya. Babu luar negeri. Te-ka-we. Mengabdi kepada orang china. Orangorang Bermata sipit itu. Yang di negeri saya sempat dikucilkan akibat para rasis. Dibantai dan diperlakukan semenamena.
Yah, pengabdian saya bisa juga kan diartikan sebagai permintaan maaf dari sodara setanah air saya yang mungkin dulunya khilaf. Toh saya dibayar juga dengan harga tinggi, pake dollar lagi! Haha, saya jadi merasa sedikit punya gengsi.
Aih, melantur makin tidak jelas. Pena macet diujung jari. Tapi jam masih berdetak juga, dan ampun! Kenapa cepat sekali?! Sudah hampir empat jam tak saya rasa.
Gedunggedung beton mulai penuhi etalase pandangan. Semakin ke dalam semakin padat saja alur betonnya. Lalu perlahan menukik turun pesawat yang saya tumpangi. Mbak pramugari mengingatkan pakai erat sabuk pengaman.
Saya malah sibuk merapatkan barisan buku serta handsfree sekaligus sendok garpu ke dalam tas, nggumun lagi diam2 "kenang2an nih, boleh ditunjukin ke orang2 sekampung tersayang"
jiwa keudikan saya yang melebihi batas normal membuat rekan sesama te-ka-we di sebelah saya melirik sebal. Hahaha, saya tak ambil pusing, seperti biasa, muka tebal saja.
Sampai sekarang bahkan sobekan tiket saya masih tersimpan lusuh di saku ransel butut yang setia menemani perjalanan saya dari kampung hingga kemari.
Cerita cerita tak terduga yang menyusul di kemudian hari. Siapa sangka seorang te-ka-we ternyata bisa juga membentuk barisan balad untuk kisahnya sendiri. Dan semua itu tersampaikan berkat pesawat yang sukses mengusung saya dengan selamat ke negri beton ini. Burung raksasa itu, Cathay pasifik.
Oleh : Pratiwi WS